News Report

Kamis, 12 Mei 2016

Petuah Tenun Songket Melayu Riau

”Bertuah orang berkain songket
Coraknya banyak bukan kepalang
Petuahnya banyak bukan sedikit
Hidup mati di pegang orang”
”Kain songket tenun melayu
Mengandung makna serta ibarat
Hidup rukun berbilang suku
Seberang kerja boleh di buat”
”Bila memakai songket bergelas
Di dalamnya ada tunjuk dan ajar
Bila berteman tulus dan ikhlas
Kemana pergi tak akan terlantar”

Bait tiap bait syair ini membuat siapapun yang mendengarnya akan berdecak kagum. Tenun Songket Melayu. Filosofinya begitu dalam. Tiap ukiran-ukiran yang ditenun mempunyai maknanya tersendiri. Motif pada kain songket tersebut tak akan pernah melambangkan sesuatu yang bernyawa, layaknya binatang ataupun manusia. Hal ini dikarenakan melayu berasal dari agama islam. Mengapa demikian?

Alkisah terdapat sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Melaya yang merupakan kerajaan Melayu yang terkenal pada zaman itu. Kerajaan Melaya memiliki raja yang beragama Islam. Maka segala adat istiadat Melayu itu syahlah menurut syarak dan syariat Islam (Tengku Tonel, 1920). Maka adat istiadat yang tidak bersendikan syarak atau syariat Islam tidak dibenarkan berlaku di negeri Melayu. Sehingga dikenal dengan ungkapan orang Melayu beragama Islam, beradat istiadat Melayu dan berbahasa Melayu. Begitulah petuah sang Guru yang mengajarkan kami apa itu kebudayaan adat istiadat dan dari mana budaya kami berasal.
Beberapa tahun silam, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Sang Guru menceritakan segelintir sejarah lahirnya kebudayaan tenun songket ini dengan hikmat kepada kami. Dengan wajah teduhnya, Beliau menuturkan bahwa Songket berasal dari kata “Sungkit” yang artinya “mencungkil” yang juga memerlukan proses “mengait”. Kedua kata tersebut digunakan dalam teknik menenun songket.
Dalam perbincangan yang hangat itu, Beliau menceritakan bahwa Tenun songket melayu berasal dari Kabupaten Siak, Riau, yang dulunya merupakan pusat kerajaan melayu Riau bernama Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kerajaan Siak Sri Indrapura merupakan salah satu Kerajaan Islam yang berkembang di salah satu pulau terbesar di Indonesia, Sumatera.
“Pada zaman Kerajaan Siak Sri Indrapura, Tenun Siak hanya boleh dipakai oleh anggota kerajaan beserta keluarganya, sebab Tenun Siak merupakan pakaian yang melambangkan keagungan serta menunjukkan tingginya status seseorang di lingkungan kerajaan tersebut, rakyat biasa tak boleh pakai. Kain yang ditenun menggunakan kain sutra yang pada saat itu sangat mahal, ” ujarnya dalam percakapan pada siang yang terik itu.

Sang Guru juga menambahkan bahwasannya tenun songket dapat pula dipakai oleh rakyat biasa. Tetapi, tenunan yang boleh dipakai rakyat biasa bukan tenunan songket yang dipakai oleh raja, begitu juga dengan para datuk. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan yaitu terletak pada warna, motif dan bahan yang digunakan.

Dari segi warna, warna kuning hanya diperuntukkan kepada raja, sedangkan hitam untuk para datuk. Rakyat biasa boleh memakai warna apa saja selain warna kuning dan hitam. Dari segi motif, tenunan songket rakyat biasa yaitu bermotif lejo (kotak-kotak), sedangkan untuk raja dan datuk bisa menggunakan motif apa saja selain dari motif lejo. Untuk bahan, tentu saja berbeda antar keluarga kerajaan dengan rakyat biasa. Bahan tenunan songket keluarga kerajaan yaitu dari kain sutra yang sangat mahal.

“Seiring berjalannya waktu, kini kain Songket sudah bisa dibeli dan dipakai oleh siapapun dan biasa digunakan pada acara formal atau pesta pernikahan bagi masyarakat yang masih kuat memegang Adat Budaya Melayu Riau,” katanya kembali.

Beliau kemudian memberikan kami sebuah contoh pemakaian songket. Untuk para Dare (perempuan melayu), dapat memakai songket sebagai bahan atasan (selempang baju) dan juga bahan untuk bawahan (rok). Dapat pula dipakai sekaligus dan dapat pula tidak. Untuk Bujang (lelaki melayu) dapat memakainya untuk kain tambahan untuk celana panjang (seperti memakai sarung tetapi hanya mencapai lutut).

Ada pula aturan dalam memakai kain tambahan tersebut. Apabila seorang pemuda melayu yang belum menikah memakainya, maka ia dapat memakai kain tambahannya hanya sampai di atas lutut. Namun, jika ia sudah menikah, ia dapat memakai kain tambahannya sampai menutupi lutut atau dibawah lutut.

Setelah bercerita cukup panjang, Beliau duduk sebentar untuk meminum air putih yang telah kami sediakan. Wajahnya berpeluh. Bagaimana tidak, matahari pada siang hari itu begitu panas. Setelah menunggu beberapa saat Beliau kembali bercerita.
“Kain tenun songket melayu sendiri merupakan kain dari hasil kerajinan tangan masyarakat melayu yang dilakukan melalui proses menenun benang perak atau benang emas dengan ragam corak tenunan tertentu. Kain songket melayu juga memiliki keunikan pada motif atau coraknya. Masing-masing motif memiliki nilai estetika yang merupakan pelambangan atas pemikiran atau pandangan masyarakat melayu,” ujarnya. Kami mengangguk-angguk, menyatakan bahwa kami mengerti pada apa yang Beliau jelaskan.
Dalam sesi terakhir, Beliau kemudian menceritakan beberapa motif yang biasa disebut Siku Keluang, Siku Awan, Pucuk Rebung, Bunga Tanjung, Tampuk Manggis merupakan motif dasar pada kain tenun. Motif lainnya yaitu Kuntum Bunga, Siku Tunggal, Pucuk Rebung Kaluk Pakis, Pucuk Rebung Bertali, Pucuk Rebung Bertabur Bunga Ceremai, Daun Tunggal, Mata Panah, dan Tabir Bintang. Dalam segi harga, mahal atau tidaknya sangat berpengaruh pada bahan yang digunakan serta bergantung pada motif. Semakin rumit motif atau coraknya maka semakin mahal harganya. Harga tenun songket melayu Riau ini berkisar Rp. 100 ribu hingga jutaan rupiah.

Setelah lelah bercerita, Beliau menghembuskan nafas panjang. Mendengar pemaparan yang diceritakan olehnya, kami menjadi sangat bangga menjadi masyarakat suku melayu yang memiliki banyak kebudayaan yang memiliki nilai estetika yang tinggi.

0 komentar:

Posting Komentar